Suku Jambak menjadi salah satu dari lima suku asli yang terdapat di Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang. Suku ini diperkirakan telah menempati wilayah ini sejak lama, namun tidak ada sumber yang menyebutkan tahun pasti suku tersebut tiba. Sama seperti suku Minangkabau pada umumnya, Suku Jambak menganut sitem matrilineal dimana perempuan menjadi tonggak utama dalam pengambilan keputusan dan pemilik dari harta pusaka tinggi, salah satunya yang paling penting yaitu Rumah Gadang.
Rumah Gadang milik suku Jambak ini dikenal dengan nama Rumah Gadang Suku Jambak dan terletak di Jl. Haji Agus Salim No. 42, Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang, Kota Bukittinggi. Rumah Gadang ini diperkirakan dibangun pada tahun 1700-an dengan bundo kandung pertama bernama Mariah dan suaminya Inyiak Gaduang yang bergelar Renggang Angku Rajo Mangkuto. Berdasarkan wawancara dengan Majo Kayo Tuanku, dibangunnya rumah gadang ini identik dengan munculnya penghulu suku di Nagari Kurai Limo Jorong, nagari yang menjadi asal usul wilayah Kota Bukittinggi, pada abad ke-18.
Rumah Gadang suku Jambak di Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang ini memiliki keunikan yang membedakannya dengan rumah gadang Minangkabau pada umumnya. Pertama, pada umumnya, suku-suku di Minangkabau menganut kelarasan Bodi Chaniago atau Koto Piliang. Namun, dalam kasus Suku Jambak di Bukit Cangang, mereka menggunakan kedua aliran sekaligus yang berdampak pada bentuk rumah gadang dan adat istiadat. Pada rumah adat Suku Jambak, rumah ini tidak memiliki anjuang pada kedua ujung rumah gadang dan berlantai datar seperti rumah gadang Bodi Chaniago. Namun, dalam adatnya dikenal istilah bajanjang naiak, bakato turun yang merupakan model kepemimpinan kelarasan Koto Piliang. Hal ini mencerminkan integrasi antara konsep kelarasan Bodi Chaniago dan Koto Piliang pada adat Suku Jambak di Bukit Cangang Kayu Ramang.
Keunikan lainnya yaitu, alih-alih berbentuk rumah panggung dengan 4 kaki kayu di setiap sudutnya, bagian bawah rumah gadang ini dibangun menggunakan tembok dengan sentuhan arsitektur Eropa yang mengelilingi rumah sehingga kolong rumah gadang ini tertutup seluruhnya. Perpaduan model arsitektur ini menunjukkan adanya interaksi yang intens antara pemilik rumah gadang dengan bangsa Belanda pada masa lalu yang berdampak pada arsitektur rumah gadang. Lebih lanjut, Mira Lili Yanti selaku pewaris rumah gadang, menyampaikan bahwa nenek moyangnya merupakan pedagang pada masa kolonial, di mana pada periode tersebut Kota Bukittinggi atau Fort de Kock saat itu, di bawah pemerintahan Belanda berkembang menjadi kota perdagangan utama di Dataran Tinggi Padang (Padangsche Bovenlanden). Oleh karenanya, kemungkinan terjadi interaksi yang kuat antara penduduk lokal, khususnya para pedagang dengan bangsa kulit putih sangat besar. Hal ini juga didukung oleh keberadaan foto-foto lama yang menampilkan anggota keluarga rumah gadang berfoto bersama orang-orang Belanda pada masa itu.
Rumah gadang ini memiliki 4 kamar tidur, 8 tiang kayu, 1 tonggak tua. Di dalamnya masih terdapat benda-benda kuno yang sudah ada sejak masa silam, seperti dipan tua, kasur kapuk model lama, artefak lampu gantung, serta brankas besi yang telah berumur lebih dari 100 tahun. Selain itu, Rumah gadang ini menyimpan berbagai peninggalan adat berupa perhiasan kalung, kain Balapak Panjang dan Kain Sulam Timbul yang biasanya digunakan dalam upacara pernikahan. Perhiasan kalung ini selalu dipakai oleh anak perempuan Rumah Gadang yang menikah, 2 helai kain Sulam Benang Emas berwarna merah dan biru digunakan sebagai hiasan pelaminan pengantin yang berada di dalam rumah gadang, serta Kain Balapak Panjang digunakan sebagai seserahan pada saat pertunangan yang nantinya akan dikembalikan lagi pada acara pesta pernikahan. Ketiganya menjadi simbol adat budaya Minangkabau suku Jambak yang kaya akan tradisi dan keindahan seni. Berbagai peninggalan ini menjadi saksi bisu perjalan dan perkembangan Rumah Gadang Suku Jambak ini dari masa-ke masa.
Hingga kini, Rumah Gadang suku Jambak masih kokoh berditi dan terjaga keasliannya hingga kini dibandingkan dengan rumah gadang suku lainnya di Kelurahan Bukit Cangang Kayu Ramang. Meskipun sempat dilakukan perbaikan pada tahun 2009, namun tidak mengubah bentuk ataupun arsitektur dari rumah gadang tersebut. Rumah ini telah bertahan hingga 7 generasi sejak awal dibangunnya.